Badai Nona Periang

     

“Harusnya kamu tidak disini kan?” Fian bertanya.

Syena mengerutkan keningnya, “Dimana maksud mu?”

“Di tempat ini,” Syena berfikir sedikit keras, lalu ia menyadari bahwa memang seharusnya mereka tidak bertemu di tempat ini lagi, “Aku tidak tau Pian,” panggilan kesayangan yang tak akan pernah hilang walau Syena sudah tiada sekalipun.

“Harusnya kamu belajar Syena. Kamu pernah berada dalam masa buruk mu disini.”

“Aku tau Pian,” mereka mulai berdebat, “Tapi mau bagaimana lagi… aku butuh rasa sakit ini Pian, aku sepi kalau harus merasa senang tanpa kamu.”

Fian terdiam, membiarkan Syena untuk berada di sampignya, mungkin ia juga merasa tenang?

"Lalu bagaimana dengan mu?" 

Fian menoleh ke arah Syena, "Aku? atau yang sedang mendampingiku?" tanya Fian balik.

"Kamu tau betul siapa yang aku maksud Pian," jawabnya tanpa menghadap ke arah Fian. 

"Andira dan aku baik-baik saja."

Syena tersenyum, "Syukurlah." 

"Berkatmu," lanjut Fian menatap mata indah Syena.

"Bukan, kalau ini berkatku, kalian tidak akan pernah bersama." 

Fian bingung, ia tak memalingkan wajahnya dari bola mata yang enggan untuk saling menatap, "Kenapa begitu?"

Syena tersenyum lalu berjalan dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu, kursi yang dibuatkan khusus untuk dirinya dan kekasihnya waktu itu. "Kamu yang paling tau sebagaimana egoisnya aku Pian," ia mendongak menatap Fian yang kini tengah berdiri di sampingnya yang tengah bersandar di pohon. 

"Bagaimana bisa orang egois sepertiku melepas seseorang yang paling aku sayang untuk bersama dengan orang yang bahkan tidak aku kenal? Bagaimana bisa orang egois sepertiku mau untuk memberikan kebahagiaannya, untuk orang lain Pian?"

"Kalau kamu egois, kamu gak akan lepasin aku Syen," remeh Fian dengan senyuman sarkas nya.

Syena membalas senyuman itu, "Pian, melepasmu itu bukan keegoisan, tapi dewasa. Kamu lupa? kamu yang mengajari aku ilmu ikhlas kan? aku tau Pian, ikhlas itu bohong, yang ada hanya terpaksa lalu terbiasa."

"Kedewasaan macam apa yang kamu maksud?"

"Ya melepasmu," jawabnya cepat membuat Fian semakin kebingungan. "Aku ini manusia egois Pian, bukan berarti aku manusa yang tidak punya hati, kamu sendiri yang bilang hatiku lembut kan? bagaimana bisa seseorang berhati lembut seperti aku, melihat orang yang di cintainya merasa kewalahan, antara harus memanjakan aku atau memberi perhatian lebih pada calon istri nya?" ia terdiam sesaat, merasa sesak, "Dari awal kita memang salah Pian, terutama aku."

Fian terdiam, membiarkan Syena hanyut dalam pikiran, mungkin Fian juga bingung? atau menyesal? ah sepertinya penyesalan itu tidak ada dalam kamusnya, benar tidak?

"Aku kasihan padanya Pian, bagaimana bisa gadis manis itu mendapat kebahagiaannya di atas kesedihanku? Pian?" Fian menoleh saat Syena memanggil namanya.

"Hmm?" 

"Aku tidak pernah mengambil kebahagiaan perempuan lain, tapi mengapa kebahagiaanku selalu di ambil oleh perempuan lain?"











 

 

 

Komentar

Postingan Populer