butterfly boy

  ‎ ‎ ‎ "Nggak bisa apa Del?" dia menanyaiku.

  ‎ ‎ ‎ "Apa?" tanyaku ragu, mencoba menatap matanya. 

  ‎ ‎ ‎ "Nggak bisa aku aja yang jadi pacarmu?" 

  ‎ ‎ ‎ Aku menghembuskan nafas ku berat, "Kita udah bahas ini berkali-kali, Esa." 

  ‎ ‎ ‎ "Tapi aku masih mau kamu, aku gamau dia bisa lebih dapet perhatian kamu, Dela," kini wajahnya mulai sayu. "Katamu kamu sayang aku kan? Yaudah tinggalin dia ... lagian dia jauh dari kamu." 

  ‎ ‎ ‎ "Esa kamu tau aku juga lebih sayang dia." 

  ‎ ‎ ‎ "Tau! Tapi aku mau kamu sama aku, bukan sama dia." 

  ‎ ‎ ‎ Aku menggenggam tangannya, memberikan usapan ringan untuk membuat nya merasa sedikit tenang, "Kamu bisa panggil aku kapanpun, aku bakal selalu ada buat kamu, aku gak–" 

  ‎ ‎ ‎ "Bohong!" ia menghentak keras tanganku, berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh, "Pas kemaren aku pengen sleep call sama kamu aja, kamu malah lebih milih dia, Del," ujarnya tanpa menatap ku. 

  ‎ ‎ ‎ "Esa, dia pacarku! Kamu tau itu." 

  ‎ ‎ ‎ "Iya tapi aku maunya kamu jadi pacarku! Bukan pacarnya!" nada bicaranya sudah mulai meninggi dari pertama kali dia mengeluarkan suaranya. 

  ‎ ‎ ‎ Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya, "Kamu mau aku nyakitin dia, Sa?" lirihku. 

  ‎ ‎ ‎ "Iya." 

  ‎ ‎ ‎ Aku menghembuskan nafas berat saat mendengar jawabannya, menunduk sebentar untuk mencari jawaban atas semua keinginannya, "Esa. Aku kenal dia lebih dulu, aku sayang dia juga lebih dulu, aku say–"

  ‎ ‎ ‎ "Jadi maksudmu kamu gak sayang aku?" menyela ucapan ku.

  ‎ ‎ ‎ "Dengein aku dulu!" aku menggertak nya, "Kamu nggak bisa egois, Esa. Sampai kapanpun aku nggak akan lepasin dia, kamu memang terlihat lebih sempurna di mataku, tapi dia, walaupun dia nggak sesempurna kamu, dia tetap kelebihan dari kekurangan ku." 

  ‎ ‎ ‎ Ia membisu, mungkin ia sedang mencari tau, harus dengan cara apa lagi untuk membuat ku luluh. "Kalau aku sudah lebih dari sempurna di matamu, lalu kenapa kamu masih mencari kelebihan di orang lain, Del? Aku yang kamu butuh, aku yang kamu cari, bukan dia, Del." 

  ‎ ‎ ‎ "Esa! Nggak semua yang sempurna bisa bikin kekurangan orang lain tertutupi! Aku lengkap karna dia, Sa. Bahkan karna adanya dia, aku nggak mau dapat yang lebih sempurna. Kalau katamu, kamu yang aku butuhin, mungkin iya. Tapi kalo dia ada disini, aku rasa membayangkan kamu aja nggak mungkin."

  ‎ ‎ ‎ Dia menghela nafas panjang, menatapku dengan mata yang sedikit berkaca, "Apa lebih nya dia sih?" lirihnya. 

  ‎ ‎ ‎ Kali ini aku mendekat padanya, memeluknya dengan upaya untuk memberikan dia kehangatan. "Dia segalanya, Sa. Kamu bilang ini ke aku karna kamu takut aku lupain kamu, kan?" tanyaku hati-hati. 

  ‎ ‎ ‎ Ia menggeleng dalam pelukanku, lalu melepaskanku, kali ini berganti dia yang memegang kedua tanganku, "Keluarga ku hancur, Del. Aku udah gak tau harus kemana lagi selain ke kamu." 

  ‎ ‎ ‎ "Hey, denger aku. Rumahku juga rumahmu, orang tua ku juga orang tua mu, kamu cuman perlu tenang, Sa," yakin ku padanya.

  ‎ ‎ ‎ "Kamu rumahku, Del. Kamu orang yang saat ini paling aku butuhin. Bukan orang lain, bukan Mama juga bukan Papa. Kamu!" 

  ‎ ‎ ‎ "Aku sudah lama terisi, Sa. Rumah dalam diriku sudah penuh dengan semua tanggung jawab untuk menjaga satu tuan saja, rumah dalam diriku akan hancur saat aku membawa masuk tamu yang tidak di sukai oleh tuan rumahnya."

  ‎ ‎ ‎ "Then? Jadiin aku tuan mu, Del." 

  ‎ ‎ ‎ "Kalau kamu mau membuatku hancur, maka lakukan, Sa." 

  ‎ ‎ ‎ Aku melihat matanya sibuk mencari jawaban, ia menatapku namun sepertinya ia telah jatuh dalam tatapan itu, bibirnya tercekat, tak tau harus berkata apa, hingga ia memilih mengalah dan memelukku dengan erat. 

  ‎ ‎ ‎ "Kalau dia sakitin kamu, ingat aku selalu ada di luar rumahmu, kamu bisa datang kapanpun kamu mau, aku gak akan kemana-mana. Aku gak akan masuk sebelum kamu menyuruhku, aku gak akan maksa lagi, aku gamau kamu hancur." 










  ‎ ‎ ‎ 

Komentar

Postingan Populer