Maru dan Nimas

     "Nimas, mau kemana?" Gadis manis itu menoleh ke arahku, masih tak ingin menjawab apapun yang ku katakan. "Kamu masih marah?" 
     Nimas masih tetap diam, sepertinya dia benar-benar marah padaku. Aku menarik tangannya saat ia hendak pergi menjauh dari danau, "Tunggu dulu." Dia menghentak kuat tanganku yang dengan lancang menyentuh kulit lembutnya. "E-eh maaf." 
     "Maru, saya ada urusan jadi harus cepat pulang." Katanya kasar. Wah ternyata aku sudah menyakiti gadisku hingga sesakit ini rupanya. 
     "Aku cuman mau minta maaf soal kemaren Nimas." Mohon ku padanya,
     "Gak ada yang perlu di maafin Maru, saya tau seharusnya saya nggak berharap banyak pada kamu..." Dia menggantung kan kalimatnya, kali ini menatap mataku dengan tatapan tak terbaca, "Saya mau pulang, permisi." Pergi menjauh dari jangkauan ku. 


     Hari ini sudah genap seminggu Nimas mendiamiku, sejak acara malam itu yang membuat jarak diantara aku dan Nimas, rasanya malam-malam ku setelahnya menjadi sangat sepi. Malam itu aku melihat Nimas, ia berada di depanku, menatapku yang asik menikmati hidangan malam dari kepala desa.
Matanya berkaca, memantulkan sebuah isyarat bahwa dirinya terluka. Aku segera mendorong perempuan dalam pangkuanku, mencoba untuk mengejar Nimas yang ingin berlari menjauh, namun aku bisa menggapainya. 
     "Maaf Nimas, aku gak ada maksud apa-apa." Jelasku padanya. Ia hanya tersenyum pilu, lalu mencoba untuk menghapus air matanya. 
     "Loh Nduk? Kamu disini rupanya. Maaf yah Bapak ndak ajak kamu gabung karena ini lagi ada acara..." Mendekat pada Nimas, kepala desa itu membisik, "Acaranya laki-laki." Kepala desa itu tertawa, beralih menepuk pundakku "Udahlah, ayok Nak Maru, biarkan dia pergi. Setelah kerja kerasmu membangun desa ini lebih maju, maka kamu harus memakan hidanganmu, ya toh?" 
     Aku melihat ke arah Nimas, bibirnya semakin bergetar, pandangannya sudah ia alihkan ke bawah. Aku memegang pundaknya, sebelum sampai, ia segera mendongak, "Kalau begitu saya permisi." Dia berlari. 


     Pagi ini aku harus menjalankan tugasku kembali, merawat banyak pasien yang sudah mengantri sedari pagi. "Dokter, tolong anak saya Dok." Dengan air mata dan bibir gemetar seorang ibu menghampiri ku dengan bayi di gendongan nya, aku langsung membawa nya ke dalam ruangan dan segera memeriksanya. 
     "Udah demam dari kapan Buk?" 
     "D-dari kemarin Dok, tapi saya baru bawa kesini karna ndak punya uang." Ucapnya sesenggukan. 
     Setelah ku selesaikan tugasku yang pertama, setelahnya aku langsung mengobati para pasien yang ada di klinik. Hingga ada salah satu pasien gawat darurat yang tak sadarkan diri, tiba-tiba di bawa berbondong-bondong oleh warga. Nimas, jantungku berhenti berdenyut sesaat, melihat betapa banyaknya darah yang bercucuran di lantai, samar aku mendengarnya menyebut namaku.
     "Ma-ruu." Aku menghampiri nya mengelus pucuk kepalanya dengan air mata yang tidak bisa lagi ku tahan. "Ma-maaf." Ucapnya sendu. 
     Apa ini? Aku menggeleng tidak mengerti, "Kamu kenapa?" 
     "Si eneng tadi jadi korban tabrak lari Dok." Aku membulatkan mataku, menatap Nimas yang semakin melemah. Hingga tiba-tiba ada seorang laki-laki menggeser ku dengan kencang. 
     "Sayang, maaf maaf maaf." Ia menangis histeris memeluk pundak Nimas kencang. Aku mencoba untuk mencerna apa yang terjadi. Laki-laki itu tiba-tiba menghampiri ku. 
     "Dokter, selamatkan istri saya Dok!" Teriaknya memohon. Ha? Apa ini? Dadaku  seperti mengecil sekarang, seperti ada benang yang dengan sengaja ditarik untuk membuat hatiku makin berdenyut. 
     "An-anak-kuh." Belum habis air mata dan hatiku yang berdenyut, kembali lagi ada sebuah meteor yang benar-benar dilepar dari ketinggian dan mencapai ulu hatiku hingga yang terdalam. Nimas mengandung? Dia sudah menikah dengan pria lain? 
     "DOKTER!  TOLONG DOK!"  Belum sampai aku menyadarkan diri, lenganku ditarik dan di  paksa berdiri, dia, suami Nimas. 
     "Ba-bawa kedalam."  Ucapku parau. 


     Dengan cekatan aku mengobati semua luka yang ada di  tubuh Nimas, dibantu dengan suster yang ada disana, hingga akhirnya aku menyelesaikan tugasku. Setelah selesai aku sengaja menyuruh semua suster yang berada dalam ruangan itu keluar, menyisakan  aku dengan Nimas.  
     "Kenapa Mas?" Kembali air mataku jatuh menatapnya yang lemah seperti ini. 
     Tiba-tiba Nimas terbangun, ia sedikit kebingungan lalu ia menemukan ku, menatapku lekat dan mencoba tersenyum. 
     "Maaf Maru." Ucapnya. 
     Aku kembali menangis, menggenggam kuat tangan Nimas, "Kenapa kamu gak pernah bilang?" 
     "Maaf Maru." Aku menatapnya, tak tau sudah seberapa lemah lagi, aku akan tetap mecoba untuk tenang. Menarik nafas dalam, "Maaf Nimas." 
     Sesaat Nimas mengerutkan alis bingung, namun hanya sesaat, setelahnya ia tersedar, dan meremat perutnya kuat. Ah dia berteriak, meraung-raung tak terima akan semua takdirnya. 
     "Bunuh saya Maru! Bunuh saya!" 
     Aku menundukkan kepalaku, tak sanggup melihat rontaannya. "Bunuh saya sekarang ... atau nanti mereka yang menghajarku habis-habisan." Katanya. 
     Aku masih tak mengerti apa maksudnya, hingga tiba-tiba suami Nimas masuk, dan mengetahui tentang anaknya yang sudah tiada. 
     "Dia masih 3 bulan." Ucap suami  Nimas sendu, "Tapi kamu sudah membunuhnya." 
     Setelah mengucapkan itu, suami Nimas menatapku, dan Jleb! dia menusukku dengan pisau yang entah dari mana ia dapatkan. 
     "MARU!" Teriak Nimas. Aku masih tidak mengerti apapun, hingga akhirnya aku tersadar  bahwa  darah  sudah mengucur deras dari arah jantungku. Dan setelahnya, aku sudah tak bisa melihat Nimas lagi, juga tak bisa menapakkan kaki ku. 


HEHE🤡




Komentar

Postingan Populer