Kesayangan Nara

Bali membuatku cukup menguras banyak emosi, malam ini aku tak tau harus kemana, ini bukan seperti yang aku harapkan, aku tetap termenung disini, menatap lekat ombak yang sedang menari-nari di depanku, Bara aku tau setelah ini kamu tidak akan pernah memaafkan ku, Bara aku tau setelah ibu menyakitimu dengan begitu hebatnya sekarang aku juga ikut-ikutan menyakitimu, bahkan lebih parah dari ibu, Bara aku tidak tau kalau semua rencana yang telah tersusun sedemikian rupa akan hancur lebur tak tersisa seperti ini, Aku tau ini berat untukmu Bara, aku tau kamu akan terus mencoba untuk bertanya tentang apa yang telah aku katakan tadi, tapi percayalah Bara, aku sangat menyayangimu, sungguh. Mungkin besok kita akan bertemu, aku akan mencoba untuk tetap membuatmu mengerti Bara, kali ini aku tidak akan bertindak gegabah, mempertahankan mu bukanlah sebuah hal yang benar, memang sudah saatnya aku melepasmu Bara, membiarkanmu berbahagia dengan apa yang telah kamu miliki dulu, tanpa aku bahkan tanpa seseorang yang akan selalu mengganggu mu, Leandro dan Ibu.

ahh menyebut namanya membuatku teringat, sepertinya memang aku harus pulang, sudah waktunya aku membuat diriku tenang, sudah cukup bersenang-senang nya, aku akan kembali. 

~.~

Disini, tepat dimana aku sedang menatapnya, berbaring di atas hospital bed, wajah tenang itu membuatku merasa sangat nyaman untuk berlama-lama memandang nya, tak tau apa yang sudah dokter perbuat dengan seluruh badan lemah yang ada di depanku ini, kaki dan tangannya masing-masing di ikat, aku bisa melihat tanda merah merekah di setiap sudut ikatan tali itu, aku mengusap keningnya, mencoba untuk membangunkan kesayangan ku ini, namun dia tetap tidak terbangun mungkin dokter telah memberinya obat penenang, perlahan aku mencoba untuk melepas semua tali yang merekat pada tubuhnya, mencoba untuk bersikap setenang mungkin walaupun tanganku sudah bergetar tak karuan.

Oh Tuhan apa ini sebuah hukuman? untukku atau untuknya? Kalau memang untuknya kenapa rasanya aku menerima sakit yang sama. Setelahnya aku mengecup pelipisnya menyalurkan sebuah kehangatan yang mungkin jika dia bisa melihatnya, dia akan kegirangan sekarang. Dugaanku benar dia terusik dengan keberadaanku tapi memang itu yang aku harapkan. 

Matanya yang sayu terkejab-kejab mencoba menyesuaikan cahaya, dia masih belum menyadari keberadaan ku, hingga tanganku mengusap kepalanya lembut. 

"Hai, kesayanganku..." Dia terperanjat, lucu, ekspresi yang selalu sama saat aku menjenguknya dulu,

"Kamu, disini? Anna?" 

"Ya aku datang, sayangku..." Panggil ku lirih, seolah tak percaya dia mencoba untuk menyentuh pipi ku. 

"Kamu beneran Anna?" Aku tersenyum mendengar nya, "Iya aku Anna, Anna-nya Lean." 

Dia terbangun dan memelukku kuat, ah rasanya sangat sesak tapi aku membalasnya, mencoba untuk menenangkannya yang sudah menangis di depan ku, aku mengusap tengkuknya halus, "Duduklah, kamu masih sakit." 

"Nggak Anna, aku mohon, sebentar aja, sebentar ... Anna." Jawabnya terisak, "Aku tau ini mimpi, jadi biarkan aku berlama-lama sebentar saja." Ahh dia masih berfikir ini mimpi ternyata, "Apa aku sesusah itu untuk digapai, kenapa kamu bertingkah seolah-olah aku tak pernah memelukmu, Ley?" Tanyaku sambil terkekeh. 

Dia mulai melepas pelukannya, menatapku tajam, menangkup kedua sudut pipiku, aku hanya tersenyum manis kepadanya, "Ini aku, Ley, Anna mu." 

"Anna?" Aku mengangguk, sedetik setelahnya dia kembali menangis dan memelukku lagi, "Jangan pergi lagi Anna, aku mohon, aku gak bisa tanpamu Anna." Mohonnya di ceruk leherku. 

"Aku berjanji, Ley. Sekarang lepas dulu aku sesak." Goda ku berpura-pura batuk agar ia percaya, dan berhasil. "Kamu gapapa?" 

"Gapapa, Duduk Ley." Dia menurut dan kembali duduk di brankar nya. 

"Dimana dia?" 

"Siapa?"

"Bara." 

"Kamu yakin mau tau dimana dia?" 

"Ya, seenggaknya aku bisa mengejeknya karna aku menang darinya." Aku tertawa mendengar penuturan itu, "Dia ga bisa jenguk kamu sekarang, mungkin lusa." Jawab ku sambil mencoba membantunya untuk membernarkan posisi duduknya, "Kamu udah laper belom? Mau makan? Aku suapin?" 

"Laper, Mau, Iya." Kami terkekeh bersama, mencoba untuk memulai sesuatu yang baru memang nggak mudah, tapi kalau belum dicoba mana tau rasanya seperti apa. 

Aku menyuapinya, mendengar nya bercerita tentang banyak hal yang selama ini tak pernah aku ketahui, cerita tentang kapan ia mulai mencintai ku, dan mulai sejak kapan ia menganggap bahwa aku lebih dari sekedar adik sepupunya, katanya, 

"Aku gatau pastinya kapan, tapi pas aku cium kamu di hari ulangtahun ku, aku sudah mencintai mu, Nara Kalyana." Begitu katanya dengan senyum yang mengembang indah, tak tau apa yang sudah membuatku sangat yakin bahwa ia memang tak bisa aku biarkan sendirian. Melihatnya masuk kedalam ruang operasi kemarin, cukup membuatku menyadari bahwa mungkin aku akan menghancurkan dunia Bara, tapi aku tak akan bisa melihat Leandro kehilangan dunia nya. 

Dering ponsel ku berbunyi, tepat seperti
dugaanku, cepat atau lambat Bara akan menghubungi ku, aku memperhatikan nya sebentar lalu kembali menatap Lean lekat. 

"Angkat aja." Katanya. 

Aku menurut, menjauh dari nya dan berdiri di depan jendela itu, sedikit aku melihat raut tak suka dalam wajahnya, aku tau dia masih tak terima akan hal ini tapi mau bagaimana lagi, dia harus menerimanya. "Hallo." 

"Aku mau ketemu kamu." Sarkasnya tanpa basa-basi, aku tersenyum ringan.

"Iya, aku tau kamu layak untuk mengetahui alasan kenapa aku lebih memilih sepupuku sendiri dari pada kekasih ku ... mari bertemu, aku di rumah sakit." 

Tanpa jawaban apapun, Bara menutup telfon nya, aku mencoba mengatur emosiku, tidak ingin membuat Bara tau bahwa yang aku lakukan hanyalah karna aku tak tega pada sepupu ku ini. 

"Bara, bilang apa?" Tanyanya yang sudah berdiri di belakangku, aku menoleh padanya ingin membalikan badan namun ternyata dia sudah mempunyai ancang-ancang untuk memelukku dari belakang, aku menerimanya tanpa berontak, ia menopang kan kepalanya di bahuku, aku tau dia sedikit menunduk karna aku sangat jauh dibawahnya, "Jangan temui dia ... bisa?" Tanyanya ragu, aku tersenyum mendengar nya yang tampak malu-malu, aku mendengar jelas debaran pada jantungnya di punggung ku, segera aku mengusap tangan yang melingkar di bahuku. 

"Kamu tau jawabannya apa, Ley." 

"Aku gamau di tinggal lagi, Anna." Rengeknya manja, aduhh gimana ini dia lucu banget, sial. 

"Tapi aku harus meluruskan semuanya, Anna gak akan pergi, Anna bakal balik lagi ke Lean, tapi sekarang biarin Anna ketemu Bara, Bara juga butuh Anna sekarang. Yah?" 

Dia menghela nafas, sepertinya sangat tidak rela melepaskan ku dengan begitu mudah, aku segera berbalik menghadap nya, menangkap rahang dengan wajah lesu itu, mengusapnya dengan sayang. "Anna gak akan kemana-mana, janji." Ucapku 

"Janji ga akan pergi lagi!" Ucapnya sendu, aku mengangguk kan kepalaku sebagai persetujuan, lalu tanpa aba-aba dia mengecup bibir ku singkat, membuatku terpejam merasakan betapa hangat dan kenyal nya sentuhan tak terduga itu. 

~.~

"Hai, Bara." 







Komentar

Postingan Populer