Minggu Bersama Bara ~ 4


Hai Bara, ini sudah satu minggu saat ketika terakhir kamu mengantarku pulang, bukan yang terakhir tapi untuk pertama kalinya kamu mengantarku pulang. Bara sekarang aku nggak tau apa perbedaan antara pertama dan terakhir, apakah benar akan menjadi yang terakhir, atau mungkin yang pertama. 


“Hai, Bara, ini sudah satu ming-“ Suara dari seseorang yang berada dibelakangku, aku menolehnya dengan cepat lalu menutup laptop ku. 

“Apaan sih ah.” Aku berdiri dan meneriakinya dengan keras.

“Gu.” Dia melanjutkan ucapan yang tadi terpotong olehku. “Cieee, siapa Bara?” Tanyanya menggoda lalu duduk didepan meja yang sedari tadi kosong dan hanya ada aku dan laptopku.

“Bukan siapa-siapa.” Jawabku ketus lalu duduk berhadapan dengan seseorang yang telah membaca privasi ku ini. Lalu aku bertanya padanya “Ngapain kamu disini?” 


Dia menatapku lekat, matanya berbinar seolah ia sedang dalam air dan tenggelam diantara ribuan ikan yang akan segera memakannya, rautnya terlihat menghawatirkan ntah seseorang yang dia cintai atau mungkin dia sendiri. Dia tidak berbicara sepatah katapun dia tetap bertahan pada tatapan itu dan dia menunduk lesu, tarikan nafas yang panjang itu menyadarkan ku bahwa dia memang benar-benar mengkhawatirkan sesuatu. 


“Kenapa?” Tanyaku halus.  

Dia tetap menunduk, aku melihatnya mengelap matanya mungkin dia menangis lalu dia mengangkat kepalanya dan menjawabku dengan nada tenang. “Ibuku meninggal beberapa hari lalu.”

“Huh?” Aku terkejut, bibirku membisu, mataku membeku menatapnya dengan sebuah harapan kalau itu hanya sebuh candaan, yang wlaupun aku tau itu adalah hal yang nggak mungkin untuk dijadikan sebuah bahan candaan tapi aku tidak tau lagi apa yang ada di pikiranku saat itu.

“Ga ada ucapan apa gitu? Buat nguatin aku?” katanya tenang. 

“Ah iya aku turut berduka cita ya, semoga Almarhum bisa diberi sisi ter-“

“Iya udah, aku tau kok pasti kamu bakal doain yang terbaik buat ibuku.” Aku tersenyum mendengarnya berbicara seperti itu. “Tapi ngomongnya jangan pake gemeteran dong, liat bibirmu kek gitu bikin aku curiga kalo ibuku di bunuh sama kamu.” Godanya padaku dengan nada yang cukup menyebalkan untuk didengar.  

Aku kaget karena dia mengluarkan lelucon rendahan di waktu yang salah seperti ini. “Kok kamu ngomongnya gitu sih, maksudnya apa?” Nadaku meninggi. 

“Eh nggak bukan apa-apa kok, aku cuman bacanda doang relax aja kali.” 

“Nggak lucu tau ga sih!” Aku mengambil laptop ku dan menaruhnya ke dalam tas lalu sesegera mungkin meninggakan seseorang yang berada di meja itu. 

“Anna tunggu dulu, Anna!” Dia berteriak dan segera mengejarku.


Aku keluar dari toko dan berlari menjauh dari nya, sejauh mungkin aku mencoba untuk tidak melihatnya saat itu. Aku berfikir di sepanjang lariku, Kenapa aku berlari, kenapa aku menangis, kenapa aku pergi, kenapa aku merasa tersinggung atas hal itu. Aku berhenti dan memulai untuk memikirkannya lagi, dunia seolah sedang berputar sekarang aku lemas, pandanganku buram hingga setelah bebarapa saat aku berhenti, mendadak semuanya menjadi gelap. 


“Dimana?” Aku terbangun dari tidurku. 

“Kamu pingsan didepan rumahku.” Seseorang muncul dibalik pintu itu, dengan membua gelas yang berisikan teh hangat di dalamnya. 

“Kamu siapa?” Tanyaku bingung. 

“Aku sudah telfon orang tuamu, mereka akan menjemputmu sebentar lagi.” 

“Ohh terimakasih.”

“Kamu istirahat saja, nanti aku bangunin kamu kalo orang tuamu dateng.” 


Aku berbaring melanjutkan perintah dari orang asing yang sama sekali nggak aku kenal itu, lalu nggak lama kemudian mama datang, dia menjemputku dan membawaku pulang. Mama banyak menanyaiku tentang kenapa aku bisa pingsan, kenapa aku bisa sampai di daerah yang sama sekali belum pernah aku lewati sebelumnya, kenapa aku bisa tersesat sejauh ini. Aku hanya diam tanpa menjawab satu pertanyaan yang di berikan oleh mama. Hingga aku tersadar bahwa aku telah meninggakan Bara.


“Mah hp Nara mana ma?” Tanya ku panik sambil mencari hp ku di dalam tas. “Mama hp nara mana ma?” Teriakku pada mama.

“Kenapa? Cari dulu pelan-pelan kali aja ada didalem tas.” 

“Ma mana hp mama, Nara mau pinjem.” Mama memberikan hp nya tanpa bertanya apa-apa lagi padaku. Aku meminjam hp mama untuk menelfon hp ku, dan tanpa aku sadari ternya hp ku berada di dalam kantung hodie ku. 


Aku melihat notifikasi apa saja yang masuk didalamnya, dan dugaanku benar, Bara juga ternyata sudah mencariku sedari tadi dia menelfonku beberapa kali, tidak begitu lama aku menelfon Bara kembali tapi Bara nggak mengangkat telfonnya. 


“Ma kayaknya Nara harus balik ketempat tadi deh, bisa gak berhenti sini aja.”

“Aduh Nara kamu itu abis pingsan mana mungkin mama biarin kamu keluar lagi.” 

“Ma plis Nara mohon ini penting banget buat nara ma.” 

“Nggak Nara!” Tegas mama padaku. 

“Ma, sekali aja ma, sekali ini aja Nara mohon ma ini penting banget buat Nara.” 

Lalu mama berhenti di pinggir jalan. “Emang kamu mau kemana sih?” 

“Ma, Nara gabisa jelasin sekarang, nanti Nara bakal cerita dirumah, sekarang Nara pergi dulu ya ma, mama hati-hati pulangnya.” Kataku terburu sambil membuka pintu mobil mama. 

“Jangan pulang malem-malem, Nara. Heyy!” Teriak mama dari dalam mobil. 

“Iya ma.” Sahutku kencang lalu bergegas untuk kembali ketempat dimana aku meninggalkan Bara.


Aku berlari dengan sangat kencang untuk menuju ketempat terakhir aku meninggalkan Bara, di sebuah cafe bernama padu asmara, tempat yang akhirnya menjadi tempat favorit kita. Aku melihat cafenya sudah tutup, Bara juga tidak terlihat disana, aku menoleh kebelakang, dan kesamping mencoba untuk memanggil Bara yang mungkin saja dia masih berada di tempat ini. 


“Leann... Leyy...” Teriakku kencang. 

Tidak ada seorangpun disana. Aku mencoba untuk menghubungi telfon Lean tapi Lean tetap nggak mengangkatnya. “Lean please aku mohon, Lean angkat, Lean.”  Kataku cemas, tapi kecemasanku tidak membuahkan hasil apapun, Lean tetap tidak mengangkat telfon dariku. Didepan cafe itu aku tetap berdiri mencoba untuk menghapus air mata yang sama sekali aku nggak tau kapan dia mengalir dari mataku. 

Sampai akhirnya hujan turun dengan begitu tiba-tiba, Lean tetap tidak ku temukan aku berfikir mungkin dia sudah pulang, atau mungkin dia sudah tidak mengkhawatirkanku lagi. Sekarang hujan semakin deras aku memutuskan untuk pulang, aku menunggu taksi untuk aku naiki, tapi ini mungkin sudah t erlalu malam aku nggak melihat satu taksipun yang melewati jalan ini. Lalu tiba-tiba ada seorang ojek yang meneriakiku dan menawarkanku untuk mengantarku pulang. 


“Mbak, mau kemana.” Teriaknya di tengah hujan. 

“Maaf?” Tanyaku karena aku nggak terlalu bisa mendengarkan.

“Udah nggak ada taksi yang lewat mbak, hujannya deras, saya ojek ayo saya antar.” Dia mencoba berteriak di tengah riuhnya bunyi hujan.


Saat itu aku kurang yakin padanya karna dia memakai kacamata hitam dan masker yang menutup mulutnya penuh, tapi aku sudah nggak punya pilihan akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawarannya. Aku naik dan dia langsung membawaku pulang.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terdiam dan memikirkan apa yang terjadi dengan Lean sekarang, apakah dia memang sudah pulang? Atau masih bekeliaran di jalan? Aku sebisa mungkin untuk tetap memikirkan hal positif yang ada di otakku, namun rasa khawatirku tidak mau membiarkan hatiku untuk tenang. Sampai akhirnya aku sampai di rumah.


“Mbak udah sampek.”

“Oh iya mas, berapa mas?” Aku merogoh tas ku dan mencoba untuk menacari dompet yang ad adi dalamnya, dan saat dompetku ketemu tiba-tiba tukang ojek itu langsung memutar balik motornya dan pergi begitu saja, “Loh mas! Mas ini uangnya ketinggalan.” Teriakku padanya dengan melambaikan uang yang ada di tanganku. “Kenapa dia tiba-tiba pergi?” Heranku padanya, sampai akhirnya mama memanggilku dan menyuruhku untuk cepat masuk ke dalam rumah. 

Komentar

Postingan Populer