Minggu Bersama Bara ~ 3

“Kalau mau pingsan jangan sekarang, mobil papamu udah cukup ngerepotin jadi untuk anaknya tolong pengertian sedikit.” Katanya menggoda.

“Si-siapa juga yang mau pingsan” Jawabku terbata.

“Pipimu aja udah memerah, bibirmu juga gemetar, wajahmu juga pucat, hmm kayaknya badanmu juga udah lemes, kenapa? Kaget ya tiba-tiba aku panggil namamu.”

“Enggak, siapa juga ... apaan sih pede banget jadi orang, siapa juga yang lemes orang aku biasa aja.” Eyelku padanya.

“Weheeeehh, mengaca nona pipimu merah, liat.” Dia menunjuk kaca spion mobil papa. “Lihat wajahmu disana!” Perintahnya, “Cepet liat, aish sini liat!” Dia menarikku kedepan spion mobil papa, “Tuh merahkan?” Tanyanya menggoda.

“Aku malu, aku bener-bener malu, kenapa ahh sial! Aku harus jawab apa?” Rengekku di dalam hati. “Apaan sih, orang ini cuman blush on kok.” Bantah ku 

“Ahhh Blush on, oke terus kenapa wajahmu pucat, dan bibirmu kenapa bergetar.” Katanya sambil tersenyum lucu. “Hayoo kenapaaaa? Jujur ajalah pasti kamu speechless kan ketemu aku, oh atau kamu punya penyakit? Apa itu kalo kekurangan darah? Amnemina?”

“Amnesia!” Jawabku kasar

“Anemia bodoh.” Jawabnya sambil mengayunkan jarinya kekepalaku, dan itu, tawa itu, dia mengeluarkan keajaiban yang ada di dirinya, keajaiban yang sekaligus menjadi kelemahanku saat itu. 

Aku terdiam sesaat menikmati tawa yang saat ini sudah menjadi hiasan dunia yang paling aku senangi, tawa yang mungkin nggak akan pernah ada di dunia lain selain disini, sampai akhirnya dia terdiam, menatapku yang sedang menatapnya pula.

"Senang bisa bertemu lagi, Nara." Katanya indah.

"Senang juga bisa bertemu." Jawabku.

"Aku udah chat temenku untuk jemput mobil papamu di sini, jadi sekarang kamu biar aku antar pulang dulu." 

"Kenapa nggak kita aja yang bawa? Kalo mobil papa hilang gimana?" Protes ku padanya, yang mungkin itu telah membuatnya senang. 

"Hehehe, ban nya bocor, dan ban serep papamu juga bocor, jadi kita sekarang gabisa apa-apa selain nunggu temenku datang.”
"Yaudah kita tunggu aja." 

"Gabisa Nara, udah mau magrib kamu harus pulang, Ayo aku antar." 

"Gamau ah mobil papa ntar ilang." Eyelku padanya 

"Ishh ayo, ambil tasmu percaya sama aku." 

"ahh tapi, kalo diambil orang gimana?" 

"Ga akan diambil, mobil segede ini juga ga akan bisa diangkut pake tangan, jadi ayo keburu malem." 

Nggak berpikir lama-lama aku pergi dengannya entah kenapa tapi apapun yang uda diucapkan olehnya seolah sebuah perintah yang sama sekali nggak bisa aku bantah lagi. Akhirnya kita pulang naik angkot, disana nggak ada yang istimewa sampai akhirnya kita turun dari angkot dan berjalan menuju rumahku, diperjalanan itu sebuah kisah baru akan dimulai, diperjalanan menuju rumah yang saat itu terasa benar-benar indah.

"Kamu nggak mau nanya kenapa aku bisa kenal sama kamu?" Tanyanya.

"Kenapa?" 

"Karna kamu cantik." 

Aku tersenyum, dia menyihir ku, benar-benar menyihir ku, perkataan yang mungkin akan sangat menjijikkan jika dikatakan oleh laki-laki lain, tapi sangat indah jika itu keluar dari bibirnya. 

"Nara, bahkan kamu nggak tau kalau kita dulu satu sekolah." 

"Hah? Satu sekolah? Kita? Kapan?" 

"Di Smp aku kakak kelasmu." 

"Oh iyakah? Kok aku gatau." 

"Karna aku sembunyi."

"Kenapa? Sembunyi dari aku?"

"Iyah, karna saat itu aku masih ragu, aku takut kamu hilang karna dulu aku belum percaya diri." 

"Tapi aku gapernah liat wajah kamu." 

"Kan aku sembunyi, toh dulu juga aku berbeda, nggak seganteng sekarang, jadi kamu pasti nggak akan ngenalin juga.”
"Iyasih." 

"Nara, kamu tau nggak apa yang selalu aku lakuin saat itu?" 

"Apa?"

"Aku cuman bisa pergi ke tempat duduk mu diam-diam saat jam istirahat dan duduk disana." 

"Iyakah? Kok aku nggak tau?" 

"Iya, kan aku sembunyi, ih gimana si orang dikasi tau aku sembunyi, aku sembunyi, malah nanya terus." Ocehnya cepet, dia gemas sekali saat itu, intonasi yang begitu tinggi dipadu dengan ekspresi kesal itu membuatnya sangat terlihat menarik.

Beberapa menit aku terdiam mendengar dia bercerita sepanjang jalan, aku hanya sedang menikmati riuhnya jalan raya di tambah dengan suara dari pria yang saat itu sama sekali tidak membiarkan waktu untuk tetap diam. Sudah sejak lama aku membutuhkan ini, membutuhkan seseorang untuk menemaniku bercerita dan bertukar cerita. Setelah itu tiba-tiba rumahku menjadi sangat dekat, langkahku menjadi sangat berat, dan sekarang aku baru sadar bahwa rumah bukan satu-satunya yang bisa membuatku nyaman, karna walau tanpa rumah kalau ada dia maka semuanya akan tetap terasa nyaman. Apakah begitu fungsi cinta bekerja? Atau hanya sebuah perspektif saja? Entah, yang jelas saat ini dia adalah rumah terbaik yang ada didunia. 

“Udah sampek ternyata.”

“ Kita udah bener-bener banyak ngobrol sampai rumahku aja terasa sangat dekat.” 

“Kamu harus pulang.”

“Kamu juga mau pulang?”

“Aku memang harus pulang.”

“Oh, okey.”

Dia pulang, dia benar-benar pulang. Aku melihatnya mulai menjauh dia tidak menengok kebelakang dia tidak membuat salam perpisahan, dia pulang tanpa keraguan. Dan di sepanjang jalan itu, mataku sudah benar-benar tidak melihatnya lagi. Akhirnya aku sudah merasa sepi dari rumah yang biasanya menciptakan kesepian yang sangat aku senangi kini terasa sangat tidak nyaman. Sekarang aku tau bahwa ramai nggak selalu terdengar buruk, bahwa ramai nggak selalu bikin aku merasa terintimidasi, bahwa sesungguhnya ramai adalah sebuah waktu yang harusnya nggak aku benci.

Bara kamu tau kalau harusnya memang kamu gaboleh pergi, tapi aku juga gabisa menahan seseorang yang nggak mau untuk tinggal, kamu tau setiap apapun yang membuatmu jauh kini sangat terasa menyebalakan. Bara aku nggak benci kamu, hanya saja aku benci kalau kamu pergi begitu saja, walau “begitu saja” terasa sangat rumit jika dijabarkan. 

Komentar

Postingan Populer