Minggu Bersama Bara ~ 2

Kisah kemarin adalah awal dari semua rasa sakit, rasa hancur, rasa sedih, rasa pasrah, bahkan perasaan kacau yang paling nggak bisa aku kuasain saat itu. Hari ini sudah genap 4 bulan, 4 bulan dari hari terakhir Bara mengantarku pulang di tempat terakhir yang kita kunjungi kemarin. Masih sangat terasa dalam kata "Kemarin" Aku masih belum bisa percaya bahwa memang seseorang yang selama ini membenci sosok yang sangat aku cintai adalah seseorang yang aku cintai pula. 

Sudah sejak 4 bulan Bara pulang tanpa kembali ke rumah, sudah 4 bulan notifikasi hp ku tidak ada namanya, sudah 4 bulan aku menunggu bahwa semuanya akan baik-baik saja, sudah 4 bulan aku percaya bahwa Bara akan datang menjemputku di hari minggu, dan entah ini sudah minggu keberapa aku tidak pergi bersama Bara. 

Hari ini aku ada les, mama mengubah jadwal ku menjadi seperti apa yang dia mau, Aku sudah pasrah karna aku tau seberapa banyak aku mengatakan "Tidak" maka hanya akan menjadi sebuah suara tanpa arti. 

"Nara, jam 3 siap-siap mama antar kamu ke tempat les" Katanya manis.

Aku hanya diam, sambil tetap membaca kembali buku harian yang berisi tentang Bara. Aku kembali membuka buku itu setelah 4 bulan. Dan aku juga sudah mulai berani untuk menuliskan isi hatiku kembali di buku itu, entah kenapa tapi sekarang nama Bara adalah nama yang harus aku sebutkan dalam setiap cerita yang ada di buku itu.  

"Bara, hari ini mama mendaftarkan aku ke kelas les piano. Kamu tau aku sangat suka memainkan piano, kamu tau aku sangat senang saat alunan piano ku bisa menjadi penenang bagi hatiku sendiri. Bara aku tidak akan terus menerka bagaimana kabarmu hari ini, besok, lusa, atau kapanpun. Aku tau seharusnya memang aku yang sudah paham bahwa mau bagaimana pun keadaan mu disana, Aku harus tetap baik-baik saja."

Setelahnya aku turun, cerita ini menjadi sangat singkat karna tokoh utama yang ada di dalamnya tidak pernah mengizinkanku untuk menuliskan dirinya disini, entah mengapa tapi yang pasti aku bukan seseorang yang penurut, seberapapun kata “jangan” teruraikan, aku akan tetap melanggarnya. Saat ini kisah ini akan benar-benar dimulai, saat ini aku hanya ingin menjadikan diriku sebagai pemberani, yang walaupun hanya ada aku di dalam kegelapan.

Kemarin hanya sebuah intro dari sebuah cerita yang akan aku ceritakan sekarang, dimulai dari perkenalanku dengan Bara. Saat itu Bara berusia 19 tahun sedang aku masih 17 tahun, kita bertemu di sebuah kedai, tempat yang sangat asing bagiku, hari itu turun hujan, aku sendirian dan dia bersama dengan teman-temannya. Laki-laki dengan rambut basah dan senyum yang indah, dia tampan, saat itu aku benar-benar nggak bisa berpaling dia, suara tertawa yang sampai saat ini tetap melekat di otakku, sumpah sekarang aku bener-bener kangen dia.

Saat itu dia tidak menatapku, bahkan mungkin dia tidak sadar kalau aku ada disana, tapi disana aku adalah orang paling sadar kalau dia adalah yang tertampan diantara yang lainnya. Hujan sudah reda dia kembali pergi tapi aku tetap menatapnnya sampai dia benar-benar sudah menghilang dari jalan itu. Aku tidak banyak berfikir saat itu, tidak sampai dia sudah tak terlihat oleh kedua mataku, sampai akhirnya papa datang menjemputku.

“Adek, ayo masuk” Teriak papa dari dalam mobil.

Aku langsung masuk kedalam mobil tanpa berlama-lama, setelahnya aku dan papa pulang nggak ada yang harus diceritakan tentang kepulanganku nggak ada yang istimewa dan gaada kesan yang harus aku masukkan disini. Sampai akhirnya tuhan memberi aku kesempatan untuk bertemu dengan dia. Saat itu aku mau berangkat ke bandara mengantar papa yang mau e luar kota karna ada perjalanan bisnis, di tengah perjalanan ban mobil papa bocor.

Aku juga ikut turun bersama papa untuk mengecek kondisi mobil papa saat itu, jalanan ramai, banyak orang berlalu lalang tapi tidak seorangpun yang bisa membantu papa saat itu, sampai akhirnya sang tokoh utama datang.

“Dia datang, dia disini, itu dia? Hah? Itu beneran dia? Kenapa disini? Dia disini benar-benar disini? Hah!” kalimat itu tiba tiba muncul dalam hatiku.

Untuk pertama kalinya suara itu tedengar.

“Pak kenapa mobilnya?” tanyanya lirih.

Aku gatau harus gimana, aku bingung, hari itu bener-bener kayak mimpi bagiku, aku melihat mereka mengobrol aku nggak bisa denger dengan jelas mereka mengobrol tentang apa tapi yang pasti aku tetap tidak bisa memalingkan tatapanku dari dia, sampai akhirnya aku disadarkan oleh panggilan mama.

“Adek, sini masuk kenapa diluar.” teriak mama dari dalam mobil.

Tak begitu lama aku langsung masuk kedalam mobil lagi selagi menunggu mereka selesai bicara, ternyata nggak ada solusi lain untuk mobil papa, mobil itu benar-benar nggak bisa berjalan lagi saat ini, sampai akhirnya dia menawarkan pada papa untuk pakai motornya dulu ke bandara dan biar dia yang bawa mobil papa ke bengkel, papa nggak menunggu lama untuk menjawab tawaran dia. 

“Iya nak saya buru-buru soalnya kalo telat gaada penerbangan lain lagi.” Kata papa

Papa akhirnya pergi dia mengajak mama karna ga mungkin kalau harus ngajak aku soalnya aku nggak bisa bawa motor jadi dia ajak mama, sedang aku, aku bersama dengan orang yang nggak aku kenal tapi aku sangat senang ada didekatnya. 

“Nak ini buat biaya bengkel nya nanti kalau kurang kamu bisa minta ke putri saya aja, oh iya sama titip dia ya ntar selesai bengkel tolong anter pulang, ini kartu nama saya lain kali kalo kamu butuh sesuatu langsung kabari saya aja, jangan sungkan.”  

“Pa, aku bisa, papa pergi aja keburu telat.” Sahutku 

Papa pergi dia benar-benar pergi, meninggalkan aku disini dengan orang asing, aku nggak bisa percaya kalau papa benar-benar ninggalin aku sama orang asing, entah karna memang nggak ada pilihan lain atau memang sudah waktunya aku mengenalnya. Ah ntahlah aku nggak tau lagi apa yang harus aku lakuin. Sampai akhirnya dia mengatakan.

“Nara!” Panggilnya lirih.

“Hah, Nara? Aku? Di...dia bener manggil namaku? Aku salah denger? Aku?” Pertanyaan itu memasuki otakku.   

“Nara! Kesini.” Panggilnya lagi.

Aku masih nggak percaya dia manggil namaku, maksudnya kayak, AKU? Dia kenal aku? Hah? Ini aneh tapi aku harus gimana? Dalam beberapa menit aku kehilanlgan kesadaranku sampai mungkin akhirnya dia kehilangan kesabarannya dan meneriaki ku dengan sangat kencang.

“NARAAAAA!”

“Hah.” Aku kaget dan membalikkan badanku kearahnya. “Kenapa?” Tanya ku.

“Kesini.” Dengan sekejap aku langsung datang ke arahnya.

“Kenapa?” Tanya ku lirih.

Dia membungkuk sedikit menyelaraskan wajahnya didepanku, dia semakin dekat, matanya sudah sangat jelas sekarang, dia menatapku, dan.

“Senang bisa bertemu lagi, Nara.” 

Huh hatiku, hatiku, tolong selamatkan hatiku, dia berdebar sangat kencang sampai rasanya ada sebuah bom yang akan meledak didalamnya, nafasku sudah ahh susah dijelasin pake kata-kata ini membuatku sesak, seseorang tolong selamatkan aku, aku takut aku pingsan. Tolongggggggggg, dan nggak cukup disitu tiba-tiba dia tersenyum, dia tersenyum, tersenyummmmmm, sekarang aku benar-benar akan pingsan, aku pingsan, aku akan segera pingsan, oke, huh. aku pingsan.

Komentar

Postingan Populer