Minggu Terakhir Bara

"nanti sore mau aku jemput jam berapa?" 

"sepulang kerja mu aja." 

"memang malam ini mau kemana?" 

"tempat biasa." 

"oh oke." 

Dia berjalan, menjauh dari tempat terakhir dia berkata akan menjemputku, seperti biasa minggu sore adalah waktu yang memang sengaja aku dan dia luangkan untuk tetap bersama, selepas senin ke minggu yang begitu jauh akhirnya minggu menjadi sebuah hari naungan yang indah untuk memberi jarak pada rindu. 

Namanya Bara, dia seumuran ku, tidak jauh beda, hanya saja dia menang 3 hari dari perlombaan keluar dari perut mama. Bara bukan seseorang yang tidak spesial, Bara juga bukan seseorang yang sangat spesial, dia berada di kata cukup. 

Malam ini kita akan pergi, seperti malam biasanya, tapi kali ini ada yang berbeda, perbedaan yang membuat aku menuliskan hari ini  didalam sebuah buku yang aku beri nama Mocca, Mocca adalah buku yang sampai saat ini tetap tersimpan dan rapi didalam rak buku ku, dia sudah lusuh dan halamannya sudah penuh dengan segala cerita hidupku. 

Dia datang. 

"Nara." Aku mendengarnya.

"Aku turun." Sahutku 

Aku menyusulnya, dia sedikit muram, mencemaskan sesuatu yang saat itu belum sempat dia katakan. 

"Kenapa?" 

"Kenapa apa?" 

"Muka mu." 

"Kenapa mukaku?" Sahutnya panik sambil melihat kaca spion yang ada didepannya. "Nggak kenapa-napa kok." katanya bernada kesal.

"Muram, gaenak diliat." Jawabku sambil menaiki motor itu. "Ayo jalan." 

Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan, aku melihatnya di kaca itu, wajahnya tetap muram, aku tau walau dia tidak mengatakannya, hatiku bicara bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang mungkin dia sendiri tidak menemukan jawaban itu. 

Kita sampai, Aku turun, seperti biasa juga aku langsung menghadap kedepannya, untuk membukakan helm ku, itu adalah kebiasaan yang sangat jarang bahkan nggak pernah dia atau aku lewatkan. Dia membuka helmnya, lalu tatapan bingung ada di matanya, dia menatapku. 

"Kenapa?" 

"Buka." Sahutku sambil tersenyum sedikit memanjakan diri. 

Dia tersenyum, sepertinya senyumku sedikit membuat dia tenang. Dia membuka helm ku lalu menaruh helm itu diatas spionnya, Aku hanya melihatnya melakukan hal itu, dia kembali menatapku, aku juga turut. 

"Lihat rambutmu." 

"Kenapa?" Jawabku panik sambil mencoba untuk membenarkannya.

"Nggak kenapa-napa, aku becanda." Katanya sambil sedikit menunduk menghadap muka ku. "Kamu lucu kalau lagi panik." Katanya sambil mencubit hidungku. 

Aku memukulnya. Katanya sakit, tapi aku tau itu tidak sakit.

"Ayo masuk." Dia merangkulku dan membawaku ke cafe itu. 

Baristanya sudah mengenal kita, "Bara." Panggilannya. 

"Oyy Fir."

"Hai, Nara." 

"Hallo, Firman." 

"Duduk, aku siapkan minuman kalian." Katanya ramah. 

Kita duduk dibangku paling pinggir, tempat duduk yang memang selalu kita pesan dihari minggu, setelahnya Bara tetap muram, dia tidak menatapku, tangannya gelisah. 

"Bara." Aku memanggilnya sambil memegang tangannya. 

"Iya." Sahutnya kaget.

"Kamu tau Bara aku tidak akan bisa bertanya kenapa kamu sangat gelisah." 

"Aku bingung harus mulai dari mana."

"Katakan." 

"Nar..." Panggilnya tidak lengkap karna saat itu Firman datang mengantarkan minuman kita. 

"Minuman datang." Katanya ramah, sangat ramah, "Mau pesan makanan?" 

"Nanti dulu Fir." Kata Bara 

"Okeh, seperti biasa kalau ada yang kalian butuhkan, kalian bisa memanggilku." 

"Iya." Kataku sambil sedikit tersenyum pada Firman 

"Kamu, mau melanjutkan?"

"Aku tau kamu sangat baik Nara, aku tau kalau kamu nggak akan pernah bisa memanfaatkan aku setelah ini, jadi aku mohon biarkan hari ini menjadi hari kita dulu ... sebelum nantinya kita tidak bisa datang kemari lagi dengan bersamaan." 

"Kamu fikir aku akan tetap memberi ijin padamu untuk bersenang-senang?" 

"Kenapa enggak?" 

"Setelah yang kamu bilang?" 

"Aku akan bilang semuanya, tapi nanti, selepas kita dari sini." 

"Oh begitu, baiklah." 

Setelahnya kita berbincang, membicarakan Senin ke Minggu yang begitu jauh, aku tetap was was karna aku tau setelah ini tidak akan ada lagi Bara yang ada untukku. 

Melihat senyumnya, cara dia tertawa, cara dia minum, cara dia mencoba untuk terus menyemangati ku, itu semua sangat nggak mungkin bisa aku lupain dengan cepat. Aku nggak tau apa yang bisa membuat kita berpisah sebelumnya. Tapi aku sangat yakin, apapun yang membuat Bara cemas dan apapun yang nantinya akan membuat dia jauh dariku, itu semua adalah keputusan terbaik darinya. 

Sampai akhirnya puas aku dan Bara saling melepas rindu, kita pulang, diperjalanan Bara berhenti di depan pusat kota, disana sangat ramai, aku nggak tau kenapa Bara bisa berhenti disana, karna yang aku tau Bara dan aku sangat-sangat tidak menyukai keramaian. 

"Turun sebentar Nara." Suruhnya 

"Kenapa disini." Bantahku 

"Sebentar aja." 

"Sangat ramai." 

"Sebentar Nara." 

"Ahh." aku terpaksa turun, karna dia juga memaksa ku untuk tetap menurutinya. "Kenapa?" 

"Aku mau bilang sesuatu." 

"Apa nggak ada tempat lain? Kenapa harus disini sih?"

"Ini adalah tempat yang tepat Nara." 

Aku menatapnya tajam, aku nggak percaya kalau dia akan berkata seperti itu. 

"Apa?" 

"Nara kamu tau kalau kamu sangat berarti untukku." 

"Iya, lalu?"

"Kesini." Dia mengajakku duduk di kegelapan dibelakang kita ada bunga dan tanaman-tanaman. 

"Kenapa?" 

Dia memegang tanganku, lalu menaruhnya di depan dadanya. 

"Kamu tau sampai sekarang jantungku tetap berdetak Nara, kamu tau jantungku akan tetap berdetak juga setelah ini, kamu tau aku tidak akan pernah berhenti disini Nara, kamu juga tau kalau sampai selama kamu hidup aku akan tetap memastikan bahwa hidupmu akan tetap baik-baik saja." air matanya turun. 

"Kamu nangis? Bara ada apa?" 

"Biar dulu Nara, biarin aku nangis didepanmu, biarin aku untuk nunjukin air mata ini Nara." 

"Kamu tau aku akan menangis juga." 

"Saat ini kamu harus jadi kuat untukku Nara. Aku sangat lemah, dan aku nggak mau kamu ikut lemah." 

"Apasih ini? Apa yang sebenernya?" Aku gelisah, jantungku berdebar nggak karuan, semua sisi negatif sudah ada di otakku, mereka sudah mencuci otakku untuk tetap berfikir bahwa Bara memang benar akan pergi dariku, dan itu tidak salah. 

"Aku akan pergi Nara." 

Deg, kata itu seolah membuatku mati rasa, air mataku turun persetetes, aku tidak merasakan udara saat itu, nafasku benar-benar berhenti, menatap mata itu, mata yang juga penuh dengan air mata.

"Nara." Dia tetap menangis kali ini dia mencium tanganku sambil tertunduk, "Maaf Nara, aku tau aku salah, aku tau kalau seharusnya memang aku nggak boleh untuk terlalu terbang tinggi bersamamu, aku tau seharusnya kita hanya sebagai teman saja, aku tau seharusnya aku nggak membawamu berada diatas awan ini, aku tau seharusnya memang kita nggak boleh sama-sama, tapi aku juga nggak tau kalau kebersamaan kita membawa kekecewaan bagi orang lain Nara." katanya tersedu-sedu

Aku tetap pada tatapan kosong, otakku tidak bisa berfikir lagi, semuanya seolah terhenti, waktu, udara, dan suara, suara yang tadinya sangat ramai itu kini telah menjadi sunyi, sangat sunyi, aku hanya mendengar tangisan Bara, aku mendengarnya, lalu tersadar. "Orang lain? Siapa Bara?" Bingung ku padanya. 

Bara mulai duduk dengan tegak, dia tetap menggenggam tanganku erat, "Mama mu." 

"Mama?" Bibirku bergetar mengatakannya.

"Iya, Nara." Katanya tegas, "Mama mu tidak menyukaiku, sejak lama dia selalu mencoba untuk memberitahu ku untuk jauh-jauh dari kamu, tapi aku tetap mencoba untuk ada untukmu, aku yakin saat itu bahwa aku bisa membahagiakan mu, aku yakin dengan apapun yang diucap oleh mama mu akan menjadi suatu semangat untukku, aku fikir mamamu hanya tidak menyukai sejenak saja. Tapi enggak Nara. Mamamu tetap tidak menyukaiku dia tetap menyuruhku untuk pergi jauh darimu, dia mengancam akan membuat mu tidak terlihat oleh mataku Nara, dia bilang dia akan membawamu jauh dari ku, kalau aku tidak menjauhimu maka mamamu yang akan membuat kita jauh Nara." 

Aku berdiri, melepas genggaman itu, "Nggak, Nggak mungkin Bara." Bentakku ke Bara. "Selama ini mama fine fine aja kalau kamu jemput aku kerumah, mama juga selalu bertanya kemana saja aku setelah kamu mengantarku pulang, nggak Bara kamu bohong." Jawabku dengan tangisan yang sangat-sangat membuat aku kacau "Nggak mungkin Bara, Nggak mungkin." Aku tetap tidak percaya pada Bara

"Iya, Nara, setelah kamu pulang dan masuk ke kamar, apakah kamu pernah melihat aku pulang? apa kamu dengar suara motorku pergi dari rumahmu? apa kamu nggak merasa bawha aku pulang dengan selamat atau tidak? pernah kamu melihat ku dari jendela kamarmu? pernah nggak kamu mikir kenapa aku selalu meminta kita bertemu dihari minggu? pernah kamu mikir kalau diantara senin ke sabtu aku selalu mencoba tetap baik-baik aja di rumah dengan semua luka yang mamamu kasih." Katanya dengan begitu cepat dan kecewa, suaranya lantang, pertanyaan itu membuatku sangat bingung. "Nara!" dia memanggilku begitu keras, dia membuka jaketnya tangannya penuh dengan lebam berwarna ungu aku panik. 

"Hah." Aku melihat luka itu, aku kaget sampai-sampai tanganku membungkam mulutku sendiri untuk tidak menangis begitu keras. "Bara." Aku cemas lalu menghampirinya dan melihat luka itu, luka yang membuat aku sangat bertanya-tanya dari mana dia mendapat itu semua. Air mataku sudah tidak terbendung mereka sudah menguasaiku, aku kalah.



Komentar

Postingan Populer