ia ~ 2

Setelah 1 bulan lamanya dia sudah bersama dengan saya. Pagi ini, ditemani dengan gerimis yang sangat sejuk, saya berada di depan jendela dengan segelas susu, susu yang setiap paginya nggak pernah telat mama membawakannya ke kamar saya. Sepertinya soal nama itu, saya belum yakin untuk menunjukkannya disini, saya masih ragu karna memang saya belum sepenuhnya percaya bahwa kalian bisa jaga rahasia. Maka saya pun memutuskan untuk memberinya nama samaran, nama yang mungkin agak jarang kalian dengar, nama yang isi kepala saya berikan untuk dia yang cukup punya arti lebih dalam hidup saya.


Odip, itu adalah sebuah penggalangan nama darinya, dari nama panjangnya. Dari dulu saya selalu memanggilnya dengan sebutan yang berbeda-beda, tapi saya nggak pernah menyebutkan nama ini sekalipun. Mungkin kalau dia baca ini pun dia nggak akan ngerti kalau yang sedang ia baca adalah cerita tentangnya. Untuk sebagian teman-teman angkatan saya waktu di SMP juga mungkin ada yang mengenalnya, saya rasa pasti mengenalnya. Apalagi sahabat saya, 4 sekawan saya. Mereka tau betul siapa yang sedang saya tuliskan, tapi mungkin mereka juga nggak ingat, karna memang banyak kemungkinan yang nggak akan pernah bisa jadi mungkin. 


Saya rasa untuk Odip sudah cukup jelas yah, kalau ada dari salah satu kalian yang mengetahuinya, saya percaya kalian bisa jaga rahasia. Saya tau benar kalian nggak akan membuat saya malu (semoga saja amiiin). Diselingi dengan pagi ditambah susu dan cerita, akhirnya tokoh utamanya menelfon saya, 


"Selamat pagi, Lessy" seperti dengan yang lainnya, dulu ia senang memanggil saya dengan sebutan itu, sebenernya saya nggak tau betul siapa orang pertama yang beri nama itu ke saya, nama itu juga sepertinya nggak ada artinya, cuman itu kebalikan dari nama Selly jadi kalau di balik namanya jadi Lessy. Kayaknya sih gitu yah, saya juga kurang mengerti atas filosofi nama itu haha. 

"Pagi kembali, ada apa?" 

"Tidak ada, Adinda, Hamba hanya mau berbicara dengan Adinda sebelum Hamba berangkat memancing." 

"Oh, Kisana mau memancing, jangan lupakan pesanan saya yah Kisana." 

"Siap Adinda, yasudah karna Hamba sudah dengar suara Adinda sekarang Hamba mau berangkat dulu yah Adinda. Nanti pas pulang Hamba akan mampir ke rumah Adinda. Jangan lupa buatin teh yah Adinda." 

"Iyah kisana." 


Dia memang begitu, bicaranya aneh, kadang berbicara bahasa spanyol, kadang bahasa jepang, kadang bahasa china, kadang bahasa thailand, kadang bahasa aneh yang dia ciptakan sendiri pun nggak jarang ia katakan kepada saya. Saya nggak ngerti kenapa dia bisa se-out of the box itu, terlalu random bagi manusia yang nggak berharap untuk hidup lama seperti saya. Saya nggak ngerti kenapa semesta meminta saya untuk mengurusnya, saya nggak cukup mau tau akan hal itu. Sepertinya pagi ini dia sangat ceria, saya nggak ngerti kenapa dan karna apa dia sebegitu senangnya, sampai-sampai mendengar suara saya adalah hal yang ia utamakan, biasanya dia paling risih mendengar saya mengoceh, apalagi kalau membahas soal isi kepala saya, soal keegoisan yang ingin saya keluarkan tapi saya nggak pernah mampu untuk mendorongnya keluar.


Oh iya kemarin dia sempat sakit. Waktu ia sedang sakit, ia memanggil saya untuk datang, saya jawab "Saya nggak bisa karna ini sudah malam." tapi dia seolah nggak memperdulikan jawaban saya. Dia menelfon salah seorang temannya untuk menjemput saya, sebenernya cerita ini belum ada yang mengetahuinya selain saya, dia, temannya, termasuk 4 sekawan saya pun nggak tau soal ini, karena memang saya nggak cerita ke mereka, saya takut, saya malu. Akhirnya saya sampai ke rumahnya, tubuhnya panas, ia demam, saya segera ambil air dingin untuk mengompresnya, sepertinya dia belum mengetahui keberadaan saya saat itu, dia mengigau. 


"Jangan pergi lagi, jangan kemana-mana" saya terkejut mendengar itu, saya mencoba untuk membangunkan dia 

"Dip, bangun." 

"Fani..." 

"Hah." desis saya pelan.


Jantung saya berhenti, tidak begitu lama hanya saja saya merasa sakit, bukan karna ia berkata jangan pergi namun nama, nama itu yang membuat kita menjadi jauh, manusia yang mungkin bisa saja saya maafkan kalau saya sudah menderita amnesia, saya hanya memandang wajah itu, wajah yang begitu penuh harap, wajah yang seolah nggak mau untuk jauh bahkan sampai pergi dari nama yang ia sebut. Saya bingung harus apa, ia tetap tak membuka matanya meski air mata mulai mengambil kendali atas keadaan saya. Saya tetap mencoba untuk tenang, menarik nafas panjang dan akhirnya saya kalah, saya berlari menjauh dari dia, saya pergi dan meninggalkan ia bersama dengan impiannya. Saya berjalan dengan tatapan kosong, saya menangis, saya marah, tapi saya diam. Seketika saya kembali sadar,


"Memang kenapa kalau dia menginginkan Fani, toh saya kan hanya sahabatnya, saya hanya sekedar adiknya, kenapa saya marah, kenapa saya lari, kenapa saya menjadi egois." 


Pertanyaan itu muncul ketika angan sudah menjadi benar, gerimis membuat otak saya sadar bahwa memang dunia saya nggak hanya tentang saya, tapi juga tentang orang lain, kalau untuk hal ini saja saya menangis bagaimana saya bisa menghadapi yang lebih dari ini. Saya kembali, kembali padanya, berada di sampingnya, dengan rambut basah dan kaca mata berembun. 


"Kamu baru datang?" katanya setengah membuka mata. 


Saya hanya mengangguk, saya nggak mau menjadi emosional didepan dia, seenggaknya, enggak untuk malam ini. Dia memegang tangan saya, dia menggenggam tangan saya begitu erat, saya nggak ngerti apa yang dia pikirkan saat itu, entah dia sedang membayangkan Fani, atau memang dia sudah melihat saya. Saya nggak ngerti, tapi yang pasti saya tidak akan pergi lagi, tidak selama dia masih mau untuk saya dekap. Saya terdiam cukup lama, menatap wajah lemah dari seorang laki-laki yang saya nggak harap untuk bisa bersamanya saat itu, saya membiarkan dia menggenggam tangan saya, saya biarkan dia merasa nyaman, saya biarkan dia menjadi sedikit tentang hari ini, tapi enggak untuk besok. 


"Lessy, ayo aku antar pulang." kata temannya yang tadi menjemput saya.

"Jangan." katanya sambil mencoba untuk membuka mata. 

"Saya harus pulang." 

"Tunggu sebentar, sampai tidur." pintanya sambil memberikan tatapan mohon yang nggak mungkin satupun orang bisa menolak keinginannya untuk saat itu. 

"Oke." kata saya melemah, sambil menatap temannya yang mulai khawatir karna hujan semakin deras. 


Setelah kurang lebih 2 jam saya disana, sampai akhirnya jarum jam memunculkan angka ganjil dalam jam yang berada tepat diatas saya, "Sudah jam 11, saya harus pulang." Temannya mencoba untuk membantu saya melepaskan genggaman itu, genggam yang sudah begitu lama saya rindukan, sampai detik ini. 

"Ayo, Sel." 

"Saya akan kembali, mungkin besok atau lusa." bisik saya padanya, saya ngerti dia mendengar saya karna dia telah menganggukkan kepalanya, namun ia tak mampu menjawab karna mungkin ia sudah nggak sanggup lagi, dia sangat lemah. Saya pergi dengan membuat elusan lembut di kepalanya, dia tersenyum saat saya melakukan itu. 

"Terimakasih." katanya sambil melihat saya.

"Kembali kasih." kata saya dan sedikit menjauh, hingga akhirnya saya benar-benar sudah jauh darinya. 


Dalam perjalanan temannya bertanya kepada saya, "Kamu kenapa nangis?" saya mau menjawab nggak papa juga nggak mungkin, karna sudah jelas saya menangis, saya bingung harus jawab apa, sampai akhirnya saya menjawabnya dengan, 

"Saya sedih lihat dia sakit." 

"Dia sakit bukan karna kamu." 

"Iyah saya tau—" 

"Lalu? Kalau sudah tau kenapa menangis, kamu nggak perlu nangis hanya karna dia mengingat mantannya, maklum saja dia baru putus, dia pasti sangat kacau. Sel, 6 bulan itu bukan waktu yang sedikit untuk menciptakan kenangan yang indah, semua itu hanya butuh waktu untuk pudar, hal itu nggak akan hilang dengan cepat sel."


Saya nggak menjawab apapun, saya hanya diam, saya nggak bisa berkelak, memang apa yang temannya katakan benar, jadi saya hanya bisa mengiyakan saja. "Sudah sampai, sel." 

"Terimkasih sudah diantar pulang." 

"Sama-sama." 


Dia kembali pulang dan saya masuk kerumah. Saya membersihkan diri saya dari tetesan air hujan yang nggak seberapa banyak itu, saya bergegas ganti baju agar saya nggak terkena demam juga, setelah saya pikir-pikir ternyata selama ini saya salah, saya salah dengan menganggap dia telah mengistimewakan saya, saya salah karna menganggap dia sudah lebih dari kata teman, memang seharusnya itu nggak boleh terjadi kan, saya sadar betul kalau saya telah egois. Saya minta maaf tapi saya nggak bisa untuk tetap tenang saat kamu masih mengharapkan dia, saya bukannya cemburu, saya hanya nggak suka separuh saya di pukul oleh orang lain, saya nggak suka separuh saya disakiti lagi seperti kemarin. Saya pikir saya benar karna saya hanya ingin menyelamatkan dia saja. Yakan?


Suara itu kembali terdengar, suara ketukan pintu dan teriakan itu, ia sudah datang. Ini nggak mungkin menjadi bab akhir dalam kisahnya, Odip terlalu istimewa untuk sekedar 2 bab saja, saya akan banyak mengeluarkan kisah yang hanya dia dan saya ketahui setelah ini. Mungkin akan ada banyak tokoh di dalam bab berikutnya, mungkin saja besok akan ada 4 sekawan saya, 4 sekawan yang muncul dengan pemikiran dan dialog yang nggak kalah dari tokoh utama, Odip bukan satu-satunya, akan ada banyak pro dan kontra dalam pemikiran dan perasaan dalam setiap tokoh yang akan hadir, ini akan jadi sedikit membingungkan tapi saya pastikan, Odip akan tetap dan pasti tetap menjadi nomor satu di hidup saya.

Komentar

Postingan Populer