Kamu, Aku dan Ayah

Datang dengan senyum merona seolah sedang ditaburi beribu bunga, memperkenalkan diri dan menyapa, berbincang hingga setiap harinya tak terasa ada siang dan malam, membuat terkesan hanya dalam 2 pertemuan, menjadi satu hanya dalam satu permintaan. Itu kehebatan mu.

Sore itu kamu mengatakan ingin bertemu denganku, aku setuju. Kamu menjemputku tepat dibelakang rumahku, saat itu kamu belum bisa mendapat kepercayaan ayah. Makanya kamu sedikit risih bila menjemputku didepan rumah, tak apa, saat itu aku yakin kalau kamu akan segera mendapat kepercayaan ayah. Aku sangat yakin.

Diatas motor itu sebuah kenangan tercipta, tangan yang kamu pegang erat seolah tak akan pernah kamu lepas, hingga seruan
"Aku mencintai gadismu om!"
terlentang begitu keras, dan di iringi sebuah tawa yang seru. Aku tidak tau sampai kapan aku akhirnya tersadar bahwa saat itu adalah awal dari semua permasalahan ini.

Perjalanan kita begitu terasa singkat. Sampai akhirnya kita sampai di tempat itu, tempat dimana kamu memilih perpisahan sebagai jawaban dari semua permasalahan.
Katamu. "Sel... kamu ngerti ga kenapa aku sangat menyukaimu?"
Aku jawab. "Aku gatau, memang kenapa?"
Kamu diam, seolah jawaban yang akan kamu berikan sangat bisa membuat aku percaya bahwa aku adalah satu-satunya. 

Kita diam begitu lama, menatap bintang, dan, angin membuat kita seolah malam itu adalah milik kita. Tidak ada satu katapun yang keluar, tidak ada kalimat tanya, ataupun kalimat-kalimat yang akan membuat kita terbuai oleh suasana.
Aku pikir, setelah malam ini akan ada malam-malam berikutnya yang akan menjadi kenagan manis untuk aku ingat. Tapi ini adalah kejutannya. 

Sebelum akhirnya kita memutuskan untuk selesai sampai disana. Kamu bilang.
"Bagaimana, ayahmu?"
"Baik"
"Soal kita?"
"Aku sudah bicara, katanya... dia butuh waktu"
"Sampai kapan lagi?"
"Kamu—"
"Iya aku lelah, aku lelah terus-terusan kayak gini. Kenapa waktu itu kamu ga milih untuk nolak aku aja? Kenapa kamu malah membuat aku semakin tidak ingin melepasmu, yang padahal aku menggenggam mu saja tidak!"
"Kamu tau aku terluka?" 
"Kamu pikir aku senang!"

Mungkin kamu gatau sesakit apa aku saat kamu ngomong kayak gitu. Bahkan sampai aku mencoba untuk melupakannya saja tidak bisa. Kalimat itu seolah menceritakan bahwa aku yang sangat jahat, karna tidak bisa bertanggung jawab atas semua lelah yang kamu dapat. Tapi nggak terpikir kah di otakmu bahwa aku juga sangat sakit? Kamu pikir aku mau kita kayak gini? Engga. Aku juga gapengen. 

Akhirnya kita pulang, dari "berangkat" yang ku pikir akan membawa "pulang" menjadi hal yang seru, kini telah berbeda cerita. Kamu bungkam sepanjang jalan. Begitupun aku yang tak berani memulai perbincangan, karna kupikir, untuk apa, kamu ga akan gubris aku juga kan. 

Sebelum akhirnya kamu benar-benar menyuruhku pulang, aku bilang.
"Akan aku coba sekali lagi."
"Gausa!"
"Gapapa"
"Ga perlu sel, untuk apa lagi?" 
"Ya siapa tau ayah akan yakin, walau ga pasti." 
"Aku gamau kita saling menyakiti"
"Maksudmu? Aku?"
"Sudah lah sel, aku mau pulang. Kamu pulang juga, jangan mampir kemana-mana." 
Lalu dia pergi. 

Kenapa sekarang berganti menjadi dia? 
Karna dia bukan lagi kamu yang aku kenal. Dia mulai asing setelahnya. Aku pulang dan sesegera mungkin untuk menghampiri ayah. Walau aku sangat ragu, tapi kupikir, apa salahnya mencoba. Mungkin ini akan jadi yang terakhir kalinya, bukan? dan akhirnya... 
"Ayah..." 
"Ya, kenapa sayang?"
"Aku ingin bilang sesuatu, mungkin ini akan sedikit membuat ayah kesal, tapi..."
"Jangan ragu! Katakan!" 
"Aku benar menyukainya, yah" 
"Percuma"
"Kenapa sih yah? Kenapa ga ada penjelasan? Ada apa yang salah dengan dia? Atau aku?"
"Oke, sekarang begini. Dulu, dia mengajakmu pergi tanpa sepengetahuan ayah. Sekarang dia ingin pergi darimu tanpa berpamitan pada ayah, benar bukan? Ayah mu ini laki-laki nak, mungkin ayah bisa salah. Tapi ayah bisa menetralisir kesalahan itu dengan tidak membiarkan kamu dekat dengan dia?"
"Aku ga ngerti yah..."
"Ini masalahnya, kamu belum bisa mengerti! Gapapa tidurlah, cuci mukamu, ganti baju, dan tidur" 

Sampai saat itu aku masih ga ngerti apa yang dimaksud sama omongan ayah, tapi yang pasti, ayah tetap tidak memberi izin. Lalu dia menelfon.
"Bagaimana?"
"Maaf tap—"
"Sudah. Tak apa, memang semua ini harusnya ga terjadi, aku yang salah menaruh hati, ayahmu benar. Aku memang ga bisa jadi yang terbaik" 
~tutt tutt 

Sudah. Perbincangan kita selesai sampai disitu. Aku sangat hancur saat itu, aku tidur dengan semua air mata yang tercucur tanpa tau apa sebenarnya yang terjadi padaku. 

"Kecewa?"

Pasti! Aku sangat kecewa. Bukan kepada dia atau ayah. Tapi kepada waktu dan keadaan. Walau sebenarnya mereka tak bisa dan tak akan pernah bisa salah. Tapi perspektif ku seolah tak ingin membenarkan keadaaan itu.

Semuanya sudah terlihat kosong. Sangat kosong. Keluar kamar pun aku enggan, rasanya kayak, aduhhh, berat kalo aku harus mengingat rasa itu lagi. Karna emang gabisa dipungkiri ketika keadaan yang kita ingin tidak bisa mencapai tujuan yang kita harap. Maka disitulah titik hayal akan menjadi sebuah kebodohan. Pagi itu, hanya ada aku, musik dan kamar. Tidak ada yang lain. Sampai akhirnya ayah pulang kerja. Dia menghampiri aku dikamar, lalu,

"Mbak... Masih sedih?"

Aku ga menjawabnya, aku hanya diam. Rasanya aku sedang ditertawakan oleh egois yang ga kunjung luluh. Ayah mengusap rambutku dan membangunkan aku dari kasurku. 
"Mbak... Begini, laki-laki itu tidak bisa menghormati ayah. Dia hanya ingin milikin kamu, tanpa melihat bahwa ayah adalah pemilikmu yang kedua setelah Allah. Coba pikir, kalo kamu ingin mengambil barang milik adik, apakah kamu langsung ambil atau pamit dulu?"
"Lang—sung am—bil" 
Kataku sambil tersedu-sedu, aku gamau boong tapi emang aku gapernah ijin kalo mau pinjem ato ambil barang milik adikku. Yah kupikir untuk apa? Kan aku lebih tua, jadi aku bebas, haha.

"Terus, adikmu marah tidak?" 
"Dia menangis..." 
"Itu yang ayah rasakan. Ayah menangis saat kamu tidak meminta izin untuk pergi bersama dia,  kenapa? Kamu ga percaya sama ayah?"
"Engga gitu, yah" 
"Terus kenapa? Apakah dia bertanya padamu, kamu sudah izin pada ayah atau belum saat kamu keluar dengan dia? Apa dia hanya senang saat melihatmu bisa keluar dengan dia?" 
"Dia ga tanya" 
"Nah. Ibarat kamu punya boneka, yang sangat-sangat kamu sayangi, dan ga pengen boneka itu sampe rusak karna orang lain, apa yang akan kamu lakukan?" 
"Aku simpan baik-baik, aku jaga, dan aku lindungi"
"Nah. Itu yang sedang ayah lakukan nak." 

Degg. Jantungku serasa sakit seperti ditusuk. Akhirnya aku sadar bahwa aku sangat-sangat bodoh. Kenapa aku tidak bisa melihat hal itu dari awal?, kenapa aku ga pernah ngeliat dari sudut pandang yang ayah liat? Kenapa aku seegois itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus memenuhi isi otakku, aku gatau harus memberikan jawaban apa agar otakku bisa bungkam akan hal itu. Dari sini kita berakhir. Sebenarnya ini masih 1/2% dari cerita inti. Tapi aku malas kalau harus menuliskan banyak-banyak tentang cerita yang ga kunjung bisa menghilang rasa sakitnya. Lebih baik, kalau aku menyudahinya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer